Hukum menikahi wanita hamil, Status anaknya dan siapa yang menjadi wali (seandainya anaknya perempuan) jika kemudian ia melakukan akad nikah, menurut al-Qur'an dan Hadist :
Ada dua pendapat tentang hukum mengawini perempuan yang sedang hamil, sedang ia tidak mempunyai suami.
Pendapat pertama menyatakan, boleh mengawini perempuan yang sedang hamil
yang tidak mempunyai suami, apakah yang mengawini laki-laki penyebab
kehamilan itu atau bukan, asal lengkap rukun-rukun dan syarat-syaratnya.
Alasan mereka ialah tidak ada nash (al-Qur’an dan al-Hadits) yang
melarangnya, atau dengan kata lain bahwa perempuan hamil tidak termasuk
dalam kategori perempuan yang terhalang seorang laki-laki mengawininya.
Pada ayat 24 surat an-Nisa’, - setelah menyebutkan perempuan-perempuan
yang tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki, yaitu ayat 22, 23, dan
24, - Allah Swt menegaskan
bahwa dibolehkan seorang laki-laki mengawini perempuan-perempuan lain
selain yang telah disebutkan. Allah Swt berfirman:
... وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَآءَ ذَلِكُمْ ... [النسآء: (4): 24].
Artinya: “… dan dihalalkan bagimu selain yang demikian …” [QS. an-Nisa’ (4): 24].
Pada ayat-ayat yang lain disebutkan perempuan-perempuan lain selain yang
tersebut pada ayat 22, 23, dan 24 di atas yang haram dikawini oleh
seorang laki-laki, yaitu perempuan musyrik [al-Baqarah (2): 221],
perempuan dalam masa iddah sedang ia masih mengalami masa haidl
[al-Baqarah (2): 228], perempuan yang telah di talak tiga kali oleh
suaminya, ia haram dikawini bekas suaminya, kecuali telah kawin dengan
laki-laki lain kemudian bercerai dan habis iddahnya [al-Baqarah (2):
230], perempuan yang dalam masa iddah karena suaminya meninggal dunia
[al-Baqarah (2): 235], perempuan yang tidak mempunyai masa haidl lagi
dan perempuan dalam masa iddah karena hamil [ath-Thalaq (65): 4],
mengawini wanita sebagai istri kelima [an-Nisa’ (4): 3], dan perempuan
musyrik [an-Nur (24): 3]. Hadits menyatakan bahwa dilarang seorang
laki-laki mengumpulkan sebagai istri seorang perempuan dengan saudara
perempuan bapaknya atau seorang perempuan dengan saudara perempuan
ibunya.
Ayat-ayat dan hadits di atas merupakan tambahan (ziyadah) terhadap perempuan-perempuan yang haram dikawini yang telah disebutkan pada ayat 22, 23, dan 24 surat an-Nisa’. Ziyadah nash yang qath‘iyyuts-tsubut terhadap nash yang qath‘iyyuts-tsubut
dibolehkan. Pada ayat-ayat dan hadits tersebut tidak terdapat perempuan
hamil yang tidak mempunyai suami. Karena itu mereka berpendapat bahwa
boleh menikahi wanita hamil yang tidak mempunyai suami asal lengkap
rukun-rukun dan syarat-syaratnya.
Bila seorang istri yang masih mengalami masa haidl ditalak oleh
suaminya, hendaklah ia menunggu tiga kali quru’ (kata quru’ dapat
berarti suci atau haidl). Selama masa iddah itu ia tidak boleh kawin
dengan laki-laki lain [al-Baqarah (2): 228]. Lanjutan ayat ini
menerangkan hikmah larangan itu, yaitu agar diketahui dengan jelas
apakah bekas istri mengandung atau tidak. Selanjutnya dinyatakan bahwa
bekas suami boleh rujuk dalam masa iddah ini jika ia menghendaki ishlah.
Dari lanjutan ayat ini dipahami bahwa kebolehan bekas suami rujuk
kepada bekas istrinya dalam masa iddah ini adalah karena seandainya
bekas istri dalam keadaan hamil tidak ada masalah terhadap anak yang
dikandungnya. Dengan demikian akan terjaga kepentingan anak di kemudian
hari terutama yang berhubungan dengan nafaqah, pengasuhan, pendidikan
dan hak waris dari si anak. Lengkapnya firman Allah Swt itu ialah:
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوءٍ وَلاَ يَحِلُّ لَهُنَّ
أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ
بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي
ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاَحًا ... [البقرة (2): 228].
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang
diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan
hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti
itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah ...” [QS. al-Baqarah (2): 228].
... وَأُولاَتُ اْلأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ...
Artinya: “…Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya …” [QS. ath-Thalaq (65): 4].
Jika ayat 4 surat ath-Thalaq ini dihubungkan dengan ayat 228 surat
al-Baqarah di atas maka dapat pula diambil kesimpulan bahwa perempuan
dalam masa iddah masa hamil boleh dirujuki (atau dikawini) oleh bekas
suami yang telah mencerainya.
Untuk menetapkan hukum perkawinan wanita hamil dengan laki-laki
yang menyebabkan kehamilannya dapat dilakukan qias, yaitu dengan
mengqiaskannya kepada perkawinan (rujuk) bekas suami dengan bekas
istrinya yang sedang hamil yang sedang dalam masa iddah. Laki-laki yang
menghamili perempuan itu dapat disamakan dengan laki-laki yang merujuki
istrinya dalam keadaan hamil. Perempuan yang dalam keadaan hamil dapat
disamakan dengan wanita yang dalam iddah karena hamil, demikian pula
sperma yang dikandung oleh kedua perempuan yang sedang hamil itu adalah
sperma dari laki-laki yang menyebabkan kehamilannya, sehingga faraj
kedua wanita itu adalah tempat menyemaikan benih dari kedua laki-laki
itu. Faraj perempuan yang sedang ditaburi benih seorang laki-laki tidak
boleh ditaburi benih laki-laki lain, berdasarkan hadits:
عَنْ
رُوَيْفِعِ بْنِ ثَابِتٍ اْلأَنْصَارِيِّ قَالَ كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ افْتَتَحَ حُنَيْنًا فَقَامَ فِينَا
خَطِيبًا فَقَالَ لاَ يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ
اْلآخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ ... [رواه أحمد].
Artinya: “Diriwayatkan dari Ruwaifi‘ ibn Tsabit al-Anshariy, ia berkata: Aku pernah bersama Nabi saw padaperang Hunain, beliau berdiri di antara kami dan berpidato: Dilarang seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat menumpahkan airnya (maninya) di atas kebun orang lain …” [HR. Ahmad].