JAKARTA - Gubernur DKI
Jakarta Joko Widodo alias Jokowi enggan membawa dugaan duplikasi
anggaran Rp 700 miliar dan mark up harga Rp 500 miliar di Dinas
Pendidikan DKI Jakarta ke ranah hukum. Sikap Jokowi ini dinilai tidak
pro pemberantasan korupsi.
Pengamat kebijakan publik dari
Universitas Indonesia, Agus Pambagio mengatakan, sikap Jokowi tidak
meyakinkan dalam mendukung penuh agenda pemberantasan korupsi. Apalagi,
PDIP harus berkoalisi dengan beberapa partai politik (parpol) dalam
Pemilu Presiden (Pilpres) 2014.
"Saya tidak yakin. Karena kalaupun dia
(Jokowi) jadi presiden, kan didukung oleh koalisi yang banyak
kepentingan. Termasuk money politic," ujar Agus melalui pesan singkat,
Selasa (15/4).
Agus menambahkan, Jokowi akan menjadi
presiden yang tegas jika kabinetnya bukan diisi oleh orang-orang hasil
pembagian kekuasaan. Jika sebaliknya, maka mantan Wali Kota Surakarta
itu akan sulit bersikap tegas dengan anggota kabinetnya termasuk soal
penyimpangan uang negara.
"Bagaimana akan tegas ketika anggota
kabinetnya hasil dagang politik dan kekuasaan? Kalau PDIP memperoleh
kursi diatas 25 persen, saya 75 persen masih yakin Jokowi bisa tegas,"
ujarnya.
Sebelumnya, skandal korupsi telah
menimpa Pemprov DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Jokowi. Dua anak buah
Jokowi di Dinas Perhubungan DKI Jakarta telah menjadi tersangka dalam
kasus dugaan korupsi pengadaan bus Transjakarta dengan nilai kontrak
lebih dari Rp 1 triliun.
Koordinator Forum Indonesia untuk
Transparansi Anggaran (FITRA), Ucok Sky Khadafi, menilai kasus tersebut
tak mungkin hanya dilakukan pejabat eselon III. Ia menduga, dua
tersangka PNS DKI Jakarta yang telah menjadi tersangka itu hanya
menjalankan perintah atasannya saja.
"Bukan mereka yang mendesign korupsi.
Mereka cuma kambing hitam. Kalau Kejagung haya menetapkan tersangka pada
mereka berdua, seolah Kejagung bermain mata dan melepas kasus
tersebut," ucap Ucok. (dil/jpnn)